Sembilan
kilometer, itulah kira-kira jarak yang harus saya tempuh pada ujian stamina
Ujian Kenaikan Tingkat Merpati Putih pada 15 s.d. 16 Maret 2014 di Gelanggang
UGM. Ini pengalaman pertama bagi saya. Enam bulan lalu saya bergabung dengan
UKM dan selama enam bulan itulah saya mengikuti latihan rutin. Segala doa dan
harapan selalu terucap agar kegagalan tidak menyertai saya pada kesempatan itu.
Pagi
itu, Minggu, 16 Maret 2014, setelah salat subuh, saya dan rekan-rekan yang lain dikumpulkan di hall Gelanggang Mahasiswa UGM. Setelah
semalam ujian tertulis dan ujian tata gerak yang cukup menguras tenaga, saya
harus bangun lebih pagi dari biasanya. Masih sedikit sempoyongan perpaduan
antara mengantuk dan lelah. Kami melaukan pemanasan, melenturkan otot-otot. Kemudian,
setiap peserta diberi satu sachet
kecil coklat pasta dan setengah gelas air untuk bekal energi. Setelah itu kami,
para pesilat, diberangkatkan untuk lari dengan rute Jalan Colombo, Jalan
Gejayan, Jalan Kaliurang, Jalan C. Simanjuntak, Jalan Cikdiktiro dan berakhir
di Gelanggang UGM.
Berbekal
energi satu sachet coklat pasta dan
setengah gelas air saya mulai berlari meninggalkan wilayah UGM menuju Jalan
Gejayan melalui Jalan Colombo. Lari saya masih stabil masih berirama dan masih
bisa mengimbangi rekan-rekan pesilat yang lain. Stamina saya buruk. Sampai
tujuan dengan selamat pun adalah keberuntungan bagi saya.
Telapak
kaki ini terasa panas dan terluka. Saya ingin berhenti sesaat dan melihatnya.
Namun, jika saya tahu telapak kaki saya terluka itu hanya akan mengurangi laju
lari saya. Saya sangat menahan diri dari hal itu. Saya terus meyakinkan diri
telapak kaki saya baik-baik saja, tidak ada luka. Begitu saya tahu jika telapak
kaki saya terluka. Saya hanya akan melangkah dengan hati-hati dan mengurangi
laju lari saya.
Saya
berlari bersama salah seorang pesilat putri dari Universitas Islam Negeri Yogyakarka.
Kami telah saling mengenal sebelumnya. Kami sama-sama buruk pada ujian stamina.
Dalam perjalanan kami saling menyemangati. Saling mengucapkan “Kita pasti
bisa!”. Lelah, kami memasuki batasan kami. Berjalan bahkan lebih cepat dari
berlari. Telapak kaki saya seolah tak sanggup menapak lagi di aspal. Pada kakiku,
seolah terdapat beban yang sayaseret-seret sepanjang jalan. Keringat mengalir
di wajah. Terasa asin di bibir dan terasa perih di mata. Kehalusan aspal Jalan
Kaliurang bagai lautan kerikil tajam yang menancap-nancap di kaki. Saya dan
rekan saya mulai melamban.
Sebuah
motor berhenti tidak jauh dari kami. Seorang ibu menggendong bayinya
mengendarai motor tersebut. Dia berusaha membenahi posisinya. Kami berhenti
sesaat melihat ibu itu sedikit kesulitan. Tiba-tiba kain gendongan ibu itu
terlepas. Bayi itu melorot sedikit demi sedikit. Kami segera menghampiri mereka
dan menagkap bayi tersebut sebelum dia benar-benar menghantam aspal jalan
kaliurang yang sebenarnya lembut tetapi berbahaya bagi bayi. Tangan saya
benar-benar gemetar. peristiwa itu hanya berlangsung beberapa detik tetapi
sangat membekas di hati. Ibu itu memeluk anaknya. Tangannya mendekap hangat dan
menepuk-nepuk punggung bayi itu. Sayaterhenyak, tangan kanan ibu itu tidak
memiliki jari. Dia memberikan dekapan dan kasih sayang yang sempurna untuk
anaknya dalam kekuarangsempurnaannya. Ibu itu membenarkan gendongannya dan
pergi dengan motornya setelah mengucapkan terima kasih pada saya dan rekan saya.
Hari
itu saya dan ibu itu sama-sama berjuang, namun tujuan kami berbeda. Ibu itu
berjuang dengan tulus menggendong anaknya. Saya berjuang dengan sepenuh hati
dan tenaga saya untuk mencapai garis akhir rute perjuangan saya. Tujuan kami
berbeda tetapi saya yakin perasaan yang kami rasakan sama. Perasaan untuk terus
memacu diri dan perasaan untuk tidak menyerah. Saya masih terus berlari hingga
akhir dan saya mampu mencapai garis akhir walau dengan nilai minimal karena
melewati waktu yang ditentukan. Namun, saya dapat merasakan nikmatnya
perjuangan.