ANALISIS
FAKTA CERITA ALUR DAN TOKOH SERTA SARANA-SARANA CERITA CERPEN “TAKDIR” KARYA AS
SIDQON
1. ANALISIS
FAKTA-FAKTA CERITA CERPEN “TAKDIR”
a.
Analisis
Alur Cerpen “Takdir”
1. Peristiwa
Peristiwa
adalah peralihan keadaan satu ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk. dalam
Pujiharto, 2012: 33). Dalam cerpen “Takdir” karya As Siqqon terdapat
peristiwa-peristiwa yang saling berhubungan untuk membangun alur yang akan
diuraikan dalam uraian-uraian berikut.
Peristiwa
pertama adalah peristiwa pertemuan tokoh aku dan tokoh kakek.
Aku sedang berlari dan itu hari
kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah
semarah-marahnya kepada Tuhan!
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki
ini. Laki-laki berserban putih dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan
Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang
saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh
berbicara mengatasnamakan Tuhan.
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa tersebut termasuk peristiwa
fisis. Kutipan di atas menunjukan peralihan keadaan tokoh aku yang tadinya
sedang mencari-cari Tuhan ke keadaan dirinya yang bertemu dengan tokoh kakek.
Peristiwa di atas juga dapat disebut
sebagai peristiwa fungsional karena peristiwa tersebut mempengaruhi alur cerita
cerpen “Takdir”. Jika tokoh aku tidak bertemu dengan tokoh kakek maka tidak
akan terjadi cerita si kakek yang menjelaskan persoalan takdir pada tokoh aku.
Peristiwa kedua adalah saat kakek
tiba-tiba terdiam mendengar perkataan tokoh aku.
“Iya, Kakek. Aku memang depressi,
aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak
mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta
sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”
Kulihat orang yang kupanggil dengan
sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku
yang sepele itu.
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa tersebut dapat disebut
peristiwa nonfisis karena peristiwa tersebut merupakan perubahan tokoh kakek
yang tadinya sedang menasehati tokoh aku menjadi terdiam untuk berpikir.
Peristiwa ketiga adalah peristiwa
nonfisis yang dialami tokoh “aku” yaitu ketika tokoh “aku” menjadi bingung
dengan penjelasan “kakek”.
“O, jika benar demikian, tidak perlu
lagi kita berdoa dan berusaha?”
“Tidak demikian. Rezeki dan kematian
sudah ditentukan oleh-Nya, tetapi kita tak tahu ketentuan-Nya itu seperti apa.
Karena itu, rezeki harus dikejar dan kematian harus dihindari.”
Aku mengernyitkan dahi. Ada yang
kurasa masih samar. Mungkin karena jiwaku masih lelah, kejernihan pikiranku
tidaklah sempurna.
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa selanjutnya adalah
peristiwa non fisis yang dialami tokoh aku yaitu ketika ia mulai dapat memahami
penjelasan kakek.
“Jadi, apa perlunya kita menyakini ketentuan
Tuhan atas kematian atau rezeki itu, Kakek?”
“Pertanyaan yang bagus, cucuku.
Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa soal kelahiran, soal kematian, soal rezeki,
soal jodoh, dan banyak hal lainnya adalah hal-hal penting dalam hidup manusia.
Sementara, manusia tidak dapat mengendalikan banyak aspek dari hal-hal itu
secara mutlak. Kita berusaha terhindar dari kematian mendadak, tetapi bisa saja
kecelakaan menimpa kita dan tewaslah kita seketika. Ini seperti yang dialami
lelakimu.”
Aku mulai mengerti. Aku merasakan
ada seberkas cahaya menyinari pikiranku.
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa selanjutnya adalah peristiwa
fisis yaitu kedatangan tokoh aku ke tempat kakek.
Seminggu kemudian, aku kembali ke
tempat kakek berada. Syukur, tidak sulit menemukannya kembali. Kali ini dia
tidak serba putih. Dia memakai kaos oblong warna hitam dan celana komprang
pendekar. Bagiku tak penting benar apa yang dikenakan kakek ini sebab yang
penting bagiku adalah kata-katanya!
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa tersebut juga merupakan
peristiwa kaitan yang mengaitkan ke peristiwa selanjutnya. Jika “aku” tidak
kembali menemui “kakek” maka tidak akan terhubung dengan peristiwa selanjutnya
yaitu peristiwa nonfisis yang dialami aku. Tokoh aku mulai dapat memahami
nasehat kakek. Peristiwa pertemuan kembali tokoh aku dan kakek juga menunjukan
bahwa tokoh “aku” untuk mencapai pemahaman membutuhkan proses dan waktu.
Peristiwa berikut adalah peristiwa
nonfisis yang dialami tokoh aku.
“Cucuku, selembar daun kering yang jatuh di malam yang
gelap Allah Tahu dan Allah Berkuasa atasnya. Daun itu mula-mula layu lalu
kering karena sebuah proses alamiah, setelah itu ia luruh dari batang pohon dan
melayang di udara, ia akan jatuh di mana itu adalah terserah angin yang
menghembusnya. Tetapi, kalau Allah menghendaki, bisa saja daun itu tertahan di
udara. Tetapi, jika daun itu jatuh ke tanah secara alamiah maka itu adalah
kehendak Allah juga. Hanya saja, ini adalah kehendak Allah yang tidak ajaib
menurut mata manusia.”
“Teruskan, Kek. Aku mulai paham.”
(Republika, 3 Maret 2013)
Peristiwa nonfisis selanjutnya
adalah tokoh aku merasa senang karena dia berhasil memahami kesalahannya yang
telah menyalah artikan kata ikhtiar. Hal itu juga menunjukan perubahan keadaan
aku yang tadinya tidak menerima takdir Tuhan menjadi dapat menerima takdir
tersebut.
“Kamu lulus, cucuku!”
Aku merasa senang mendengar predikat
“lulus” itu. Kini hatiku serasa seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku
kesedihan sebab lelakiku yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku
sekarang adalah mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara
pasti bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan
bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untukku.
(Republika, 3 Maret 2013)
2.
Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan kausalitas. Alur dalam sebuah cerpen dapat berupa alur rekat dan alur
renggang. Cerpen “Takdir” karya As Sidqon menggunakan alur renggang. Walaupun
tokoh-tokohnya sedikit yaitu hanya tokoh aku dan kakek tetapi peristiwa-peristiwa
dalam cerpen tersebut tidak terlalu padat dan berlangsung dalam waktu yang
cukup lama. Hal itu dapat terlihat dari kutipan berikut.
Seminggu kemudian, aku kembali ke tempat kakek berada....
(Republika, 3 Maret 2013)
Pada kutipan di atas diketahui bahwa cerita berlangsung selama satu minggu.
Selama satu minggu itu peristiwa yang terjadi tidak begitu padat.
b. Analisis Tokoh Cerpen “Takdir”
1. Penokohan dan Perwatakan
Dalam cerpen “Takdir” terdapat dua tokoh yaitu tokoh aku dan tokoh kakek.
Tokoh aku adalah seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Hal itu diketahui
melalui dialog antar tokoh.
“Permintaanmu aneh! Mustahil
bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”
“Mustahil? Adakah sesuatu yang
mustahil bagi Allah?”
“Maksudku, suamimu itu mustahil
hidup kembali.”
(Republika, 3 Maret 2013)
Tokoh aku
digambarkan sebagai orang sangat berambisi meskipun ambisinya itu salah. Hal
itu terlihat pada kutipan berikut.
“JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan
kekasihmu kembali?”
“Iya!”
Aku sedang berlari dan itu hari
kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah
semarah-marahnya kepada Tuhan!
(Republika, 3 Maret 2013)
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa ia telah berhari-hari berusaha
untuk menghidupkan kekasihnya.
Tokoh kakek dijelaskan secara langsung oleh pengarang melalui tokoh aku.
Tokoh kakek digambarkan sebagai orang yang saleh. Hal itu diketahui melalui
kutipan berikut.
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki ini. Laki-laki berserban putih dan
berpakaian serba putih. Dia tentu bukan Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku
rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang
yang dekat dengan Tuhan tentu boleh berbicara mengatasnamakan Tuhan.
Tokoh kakek juga orang yang sabar
dan bijaksana hal ini dapat terlihat dari reaksi kakek menghadapi tokoh aku
yang mendesaknya untuk berdoa agar Tuhan menghidupkan suaminya.
“Begitu lemahkah Allah sehingga
untuk menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha
Kuasa, bukan, Kek?”
“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”
“Sudahlah, kumohon Kakek tidak
menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku
itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”
“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu
sedih dengan musibah yang menimpamu.”
(Republika, 3 Maret 2013)
2. Jenis Tokoh
Berdasarkan wataknya, tokoh dibedakan menjadi dua macam yaitu tokoh
sederhana dan tokoh bulat/kompleks. Tokoh kakek merupakan tokoh sederhana
karena tokoh tersebut memiliki sifat yang monoton dan hanya mencerminkan satu
watak saja. Dari awal cerita hingga akhir cerita dia digambarkan sebagai orang
yang sabar dan bijaksana.
Tokoh aku merupakan tokoh bulat atau kompleks karena sifat dan tingkah
lakunya mengalami perubahan. Perubahan sifat tokoh “aku” yaitu pada awalnya ia
sangat berambisi untuk menghidupkan kekasihnya tetapi atas nasehat kakek pada
akhir cerita dia dapat menerima kematian suaminya.
3. Motivasi Tokoh
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tokoh didasari oleh motivasi
tertentu. Motivasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu motivasi dasar dan
motivasi spesifik. Dalam cerpen “Takdir”, tokoh-tokohnya juga memiliki motivasi
dasar maupun motivasi spesifik.
Motivasi dasar tokoh “aku” adalah ingin kekasihnya hidup kembali. Motivasi
spesifiknya adalah meminta kakek untuk berdoa pada Tuhan agar kekasihnya
dihidupkan kembali.
Motivasi dasar tokoh “kakek” adalah ingin tokoh aku memahami Takdir Tuhan.
Motivasi spesifiknya adalah memberi penjelasan tentang takdir kepada tokoh
“aku”.
2.
ANALISIS SARANA-SARANA CERITA CERPEN “TAKDIR”
a.
Analisis
Judul Cerpen “Takdir”
Judul
merupakan bagian dari sarana-sarana cerita. Melalui judul pengarang menimbulkan
pola-pola bermakna. Judul juga membantu pembaca memahami cerita. Dalam
cerpennya, As Sidqon menggunakan judul “Takdir”. As Sidqon tidak menggunakan
judul lain untuk cerpennya misalnya “Ketentuan Tuhan”, “Nasib”, atau lain
sebagainya karena kata “takdir” sudah mencakup keduanya. “Takdir” dirasa lebih
tepat untuk mewakili cerita cerpen karyanya yang menceritakan seseorang yang
berusaha merubah ketentuan Tuhan atas dirinya. Dalam cerpen tersebut para tokoh
menjadikan persoalan takdir menjadi bahan pembicaraan dari awal cerita hingga
akhir cerita. “Takdir” seperti sebuah istilah yang dijelaskan As Sidqon melalui
peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerpen tersebut. “Takdir” merupakan
kesimpulan dari semua permasalan tokoh dalam cerpen tersebut. Jadi, judul
cerpen “Takdir” karya As Sidqon memang relevan dengan isi cerita tersebut.
b.
Analisis
Sudut Pandang Cerpen “Takdir”
Selain judul,
pengarang juga menggunakan sudut pandang untuk membentuk pola-pola bermakna.
Melalui sudut pandang, pembaca diajak melihat cerita dari posisi pengarang
melihat. Pada cerpen “Takdir” karya As Sidqon, sudut pandang yang digunakan
adalah sudut pandang orang pertama utama. Pada cerpen tersebut, “aku” selain
sebagai tokoh utama cerpen tersebut, “aku” juga bercerita dengan kata-katanya
sendiri. Ia menceritakan suasana hati dan pemikirannya. Ia juga menceritakan
tokoh lain yaitu kakek. Hal itu dapat terlihat pada kutipan berikut.
Aku sedang berlari dan itu hari
kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah
semarah-marahnya kepada Tuhan!
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki
ini. Laki-laki berserban putih dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan
Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang
saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh
berbicara mengatasnamakan Tuhan.
(Republika, 3 Maret 2013)
Pengarang menggunakan sudut pandang
orang pertama-utama dari awal cerita hingga akhir cerita. Hal itu terlihat pada
bagian akhir cerita berikut.
Aku merasa senang mendengar predikat
“lulus” itu. Kini hatiku serasa seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku
kesedihan sebab lelakiku yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku
sekarang adalah mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara
pasti bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan
bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untukku.
“Kamu melamun, cucuku?”
“Oh ya…!” (*)
(Republika, 3 Maret 2013)
c. Analisis Konflik dan Klimaks cerpen “Takdir”
Konflik merupakan bagian yang penting untuk membangun alur. Konflik dapat
terjadi karena hasrat dua orang tokoh atau lebih atau hasrat seorang tokoh
dengan lingkungannya. Dalam cerpen “Takdir” juga terdapat konflik-konflik yang
membentuk alur.
Pertama adalah konflik yang terjadi pada diri tokoh “aku” ketika si “aku”
berkeinginan agar kekasihnya hidup kembali. Si “aku” juga menceritakan
kesedihannya dan betapa marahnya ia pada Tuhan.
“JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan
kekasihmu kembali?”
“Iya!”
Aku sedang berlari dan itu hari
kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah
semarah-marahnya kepada Tuhan!
(Republika, 3 Maret 2013)
Konflik seperti yang telah
disebutkan di atas merupakan konflik internal karena konflik tersebut berupa
pergolakan batin yang dialami tokoh “aku”.
Konflik yang kedua adalah konflik
antara tokoh aku dan kakek. Tokoh “aku” terus mendesak “kakek” untuk berdoa
pada Tuhan agar kekasihnya dihidupkan kembali. Tetapi tokoh kakek terus
mengatakan bahwa permintaannya mustahil dikabulkan oleh Tuhan.
“Permintaanmu aneh! Mustahil
bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”
“Mustahil? Adakah sesuatu yang
mustahil bagi Allah?”
“Maksudku, suamimu itu mustahil
hidup kembali.”
“Begitu lemahkah Allah sehingga untuk
menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha Kuasa,
bukan, Kek?”
“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”
“Sudahlah, kumohon Kakek tidak
menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku
itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”
“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu
sedih dengan musibah yang menimpamu.”
“Iya, Kakek. Aku memang depressi,
aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak
mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta
sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”
(Republika, 3 Maret 2013)
Konflik di atas adalah konflik
eksternal karena konflik itu terjadi antara tokoh dengan sesuatu di luar
dirinya yaitu antara tokoh aku dan tokoh kakek.
Ketiga adalah konflik yang dialami
tokoh “kakek”. Konflik tersebut terjadi ketika kakek didesak oleh tokoh “aku”.
“Sudahlah,
kumohon Kakek tidak menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa
kepada-Nya agar kekasihku itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”
“Kamu
depressi, cucuku! Kamu terlalu sedih dengan musibah yang menimpamu.”
“Iya, Kakek.
Aku memang depressi, aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi,
apakah Kakek tidak mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya
aku bisa meminta sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”
Kulihat
orang yang kupanggil dengan sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang
mempertimbangkan permintaanku yang sepele itu.
(Republika, 3 Maret 2013)
Sikap diam kakek menandakan bahwa ia
sedang berpikir bagaimana memberi penjelasan yang tepat bagi tokoh aku. Dalam
keadaan itu terjadilah konflik internal dalam diri kakek.
Konflik-konflik tersebut memiliki
konflik utama. Hal tersebut berkaitan dengan klimaks cerita cerpen “Takdir”.
Klimaks dalam cerpen tersebut terjadi di awal cerita yaitu yaitu saat tokoh aku
merasa sedih dan marah pada Tuhan atas kematian kekasihnya karena keinginannya
untuk menghidupkan kekasihnya tidak kunjung terwujud.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Pujiharto.2012. Pengantar Teori Fiksi. Ombak: Yogyakarta
As Sidqon.
2013. “Takdir”. Dalam Republika, 3 Maret 2013. Dalam http://lakonhidup.wordpress.com/2013/03/03/takdir/.
Diakses pada 19 Juni 2013 pukul 16.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar